Admin CPG, Jakarta – Ibarat habis terjatuh tertimpa tangga. Seperti itulah adagium yang dirasakan Direktur Utama PT Mandiri Sejahtera Energindo (MSE) Eddy Roesminah. Perusahaan itu dituduh oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menggangsir batu bara di kawasan hutan tanpa izin. Lokasinya berada di wilayah Ibu Kota Nusantara atau IKN.
“Ibaratnya rumah kami sudah dirampok oleh perusahaan lain, lalu kami disuruh membayar denda Rp 1 miliar lebih atas perampokan tersebut,” ucap Eddy kepada Admin CPG pada Senin, 1 April 2024.
Mandiri Sejahtera sebetulnya perusahaan yang secara sah mendapatkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang diterbitkan Bupati Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur pada 2008. Luasannya mencapai 3.964 hektare di Kelurahan Mentawir, Kecamatan Sepaku. Wilayah itu kini bagian dari kawasan Ibu Kota Nusantara yang mencapai 56.159 hektare.
Dalam dokumen Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, PT Mandiri dimiliki oleh Yusril Ihza Mahenda melalui PT Mahendra Bara Sejahtera. Di sana juga muncul beberapa nama perusahaan yakni PT Mineral Energi Perkasa, PT Multi Agro Abadi, dan PT Panca Artha Makmur. Dokumen itu berbasis akta perubahan Nomor 13 tertanggal 15 Mei 2023. Namun Yusril Ihza Mahendra memastikan bahwa ia sudah sejak lama menjual seluruh saham ke pihak lain.
Wilayah konsesi MSE kini menjadi obyek pungutan denda administratif oleh KLHK. Ini setelah terbit Undang-undang Omnibus Law Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mengatur pengenaan denda atas keterlanjuran kegiatan usaha di dalam kawasan hutan tanpa perizinan. KLHK menjatuhkan sanksi denda kepada Mandiri Sejahtera sebesar Rp 1,34 miliar atas kerusakan kawasan Hutan Produksi Tetap (HPT) tanpa izin seluas 12,32 hektare.
Persoalannya, semenjak mendapatkan izin pada 2008, PT Mandiri Sejahtera Energindo sama sekali tak pernah menambang di wilayah konsesinya. Penggangsiran justru dilakukan oleh PT Pasir Prima Coal Indonesia (PPCI)—perusahaan berbais di Kota Balikpapan, Kalimmantan Timur, yang dimiliki Hengky Wijaya Oey—yang menambang sejak 2005.
Pada medio 2005, PPCI disinyalir melakukan eksploitasi batu bara besar-besaran tanpa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) atau kini berganti nama menjadi Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH). Pada 2011, justru PPCI melaporkan Bupati Penajam Paser Utara saat itu Andi Harahap dan Kepala Dinas Pertambangan dan Energi saat itu Jono dengan tuduhan pemalsuan izin. Alasannya karena telah memberikan izin untuk MSE.
Pemerintah daerah kemudian mencabut izin tambang yang dimiliki PT PPCI dengan alasan perusahaan tidak pernah membayar royalti dan bahkan merambah kawasan hutan tanpa izin. Ujung-ujungnya, justru Andi Harahap dan Jono justru ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian Daerah Kalimantan Timur atas tuduhan penerbitan izin palsu untuk PT MSE. Belakangan Eddy Roesminah juga turut terseret ke penjara dan dijatuhi hukuman selama 1 tahun dan 3 bulan penjara karena kases ini.
Pada 2013, Bupati Penajam Paser Utara yang baru Yusran Aspara mencabut izin operasi produksi yang dipegang MSE atau Mandiri Sejahtera. Kemudian mengalihkannnya ke PPCI atau Pasir Prima. Setahun berikutnya pencabutan itu digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara dan PT MSE memenangkan gugatan. “Tapi justru sejak 2014-2017 PPCI melakukan penambangan besar-besaran di wilayah konsesi kami tanpa izin,” kata Eddy.
Eddy sempat melaporkan pencurian dan penambangan ilegal yang dilakukan Pasir Prima tersebut ke polisi. Namun tak satu pun laporan polisi yang ditindaklanjuti. Mandiri Sejahtera lantas berupaya memperbaiki sisa-sisa kerusakan lingkungan yang disebabkan Pasir Prima. Berupa dua lubang raksasa yang mengaga. “Sebelum kami bekerja, masyarakat meminta kami merapikan lubang tambang karena membahayakan dan mengakibatkan longsor. Lubangnya begitu dalam dan airnya tercemar.”
Mandiri Sejahtera lantas membuat tanggul dan pelan-pelan menguruk lubang tambang agar tertutup. Adapun sisa-sisa batu bara yang tertinggal dikumpulkan agar tidak mencemari lingkungan. Ketika proses pembenahan, tiba-tiba Pasir Prima datang melaporkan Mandiri Sejahtera ke KLHK atas tuduhan penambangan tanpa izin kawasan hutan. “Kami dituduh seolah melakukan illegal mining, itu kan gila,”ucap Eddy.
Eddy memastikan bahwa perusahaannya sama sekali belum pernah menikmati hasil batu bara di wilayah konsesinya. Yang terjadi justru dia dilaporkan ke polisi dan mendekam di penjara atas tuduhan konsesi palsu. “Selama 14 tahun kami memegang izin nyentuh aja kagak, justru kami dirugikan waktu dan materi, bahkan dipidana. Lucunya, sekarang kami dituduh bahwa MSE melakukan illegeal mining, itu kan gila.”
Admin CPG juga berupaya meminta penjelasan dari PT Pasir Prima Coal Indonesia Hengky Wijaya Oey melalui surat resmi yang dikirim ke kantornya di Jalan Kol. Syarifuddin Yoes Nomor 088, Kota Balikpapan. Namun Hengky tak kunjung merespons permohonan konfirmasi Admin CPG.
Dalam laporan Admin CPG bertajuk “Adu Kuat di Lahan Batu Bara” edisi Senin, 10 Juli 2017, disebutkan bahwa Pasir Prima dimiliki oleh Hengky Wijaya Oey dan PT MYS Utama Mandiri. Adapun pemegang saham MYS Utama Mandiri adalah Jhonson Yaptonaga dan PT Artha Perdana Investama. Kemudian pada Artha PErdana Investama dimiliki oleh Sukardi Tandijono Tang. Dia merupakan Komisaris Utama PT Trust Finance Indonesia Tbk dan PT Artha Securities.
Kepolisian Daerah Kalimantan Timur sempat menetapkan Hengky sebagai tersangka penambangan ilegal dari penyidikan KLHK pada Juni 2017. Deni Ramon Siregar, pengacara Hengky Wijaya Oey, sempat menjelaskan bahwa kliennya menang saat praperadilan dan dibebaskan. Dia juga sempat membantah bahwa perusahaannya mengemplang pajak dan menambang tanpa izin. Sebaliknya, Pasir Prima diklaim justru menyumbang pendapatan bagi daerah.
Perebutan konsesi antara Mandiri Sejahtera dan Pasir Prima diduga dimanfaatkan oleh pihak lain yang disinyalir melakukan aktivitas pertambangan pada awal Maret lalu. Padahal lokasi tersebut masih dalam status sita oleh Pengadilan Negeri Penajam Paser Utara sejak 2022. “Mereka menambang mencapai seribu ton dalam tiga hari ini,” kata seorang warga Kelurahan Mentawir yang enggan disebutkan namanya.
Analisis remote sensing Data Spasial Yayasan Auriga Nusantara mendapati bahwa luas deforestasi pada konsesi Mandiri Sejahtera sebetulnya mencapai 61,43 hektare. Terjadi mulai kurun 2005 hingga 2021. Luasan tersebut diukur berdasarkan pemberlakuan denda yang dihitung sejak 2021 ke belakang. Admin CPG juga mendapati bahwa KLHK tak menghitung aktivitas penggangsiran tanpa izin yang sedang berlangsung hingga saat ini dan diduga dilakukan oleh beberapa pihak dengan luasan kerusakan hutan tak kurang dari 100 hektare.
AVIT HIDAYAT | ABDALLAH NAEM (KALIMANTAN TIMUR)
Baca Laporan Lengkap: Denda Pemutihan Tambang