Jejak Surat RA Kartini: Emansipasi Hingga Agama

Admin CPG, Jakarta – Raden Ajeng Kartini atau RA Kartini telah menjadi pelopor emansipasi wanita di Indonesia. Keinginannya untuk melihat kesetaraan antara pria dan wanita telah disampaikan dengan aksi dan surat-suratnya yang ia tulis.

Surat tersebut seringkali ia kirimkan kepada Nyonya Rosa Abendanon-Mandri, istri Direktur Pendidikan, Agama, dan Industri Hindia Belanda. 

Banyak hal yang diceritakan oleh Kartini Kepada Abendanon. Tidak semua surat Abendanon diterbitkan sebab banyak hal-hal kontroversial yang diungkapkan oleh Kartini. Mulai dari minoritas Cina dan persoalan intim lainnya. Tidak hanya kepada Abendanon, Kartini juga kerap kali membagikan pikirannya melalui surat ke beberapa temannya seperti Nona Zeehandelaar, Nyonya Van Kool, dan Stella.

Seperti yang kita ketahui, Kartini banyak sekali menyuarakan suara-suara perempuan yang saat itu termarjinalkan. Contohnya adalah surat yang ia tulis kepada Nona Zeehandelaar yang menginginkan kebebasan bagi perempuan.

“Jika saja masih anak-anak ketika kata-kata ‘Emansipasi’ belum ada bunyinya, belum berarti lagi bagi pendengaran saya, karangan dan kitab-kitab tentang kebangunan kaum putri masih jauh dari angan-angan saja, tetapi dikala itu telah hidup didalam hati sanubari saya satu keinginan yang kian lama kian kuat, ialah keinginan akan bebas, merdeka, berdiri sendiri.” (Suratnya kepada Nona Zeehandelaar, 25 Mei 1899)

Kesetaraan

Potongan surat lainnya yang menggambarkan keinginan Kartini untuk menyamaratakan kedudukan wanita adalah surat yang ia kirimkan untuk Nyonya Van Kool.

“Alangkah besar bedanya bagi masyarakat Indonesia bila kaum perempuan dididik baik-baik. Dan untuk keperluan perempuan itu sendiri, berharaplah kami dengan harapan yang sangat supaya disediakan pelajaran dan pendidikan, karena inilah yang akan membawa behagia baginya.” (Suratnya kepada Nyonya Van Kool, Agustus 1901).

Secara spesifik dalam surat yang diberikan kepada Stella, Kartini menggambarkan kondisi wanita saat itu yang harus patuh dan memiliki banyak aturan. Jika aturan tersebut tidak dipatuhi, Wanita akan dicaci maki oleh lingkungannya.

“Sesungguhnya adat sopan-santun kami orang Jawa amatlah rumit. Adikku harus merangkak bila hendak lalu di hadapanku. Kalau adikku duduk di kursi, saat aku lalu, haruslah segera ia turun duduk di tanah, dengan menundukkan kepala, sampai aku tidak kelihatan lagi. Adik-adikku tidak boleh berkamu dan berengkau kepadaku. Mereka hanya boleh menegur aku dalam bahasa kromo inggil (bahasa Jawa tingkat tinggi). Tiap kalimat yang diucapkan haruslah diakhiri dengan sembah. Berdiri bulu kuduk bila kita berada dalam lingkungan keluarga bumiputera yang ningrat. Bercakap-cakap dengan orang yang lebih tinggi derajatnya, harus perlahan-lahan, sehingga orang yang di dekatnya sajalah yang dapat mendengar. Seorang gadis harus perlahan-lahan jalannya, langkahnya pendek-pendek, gerakannya lambat seperti siput, bila berjalan agak cepat, dicaci orang, disebut kuda liar.” (Surat Kartini kepada Stella, 18 Agustus 1899)

Abendanon selaku sahabat yang menerbitkan potongan surat Kartini ke dalam buku berjudul  Door Duisternis Tot Licht atau Dari Kegelapan Menuju Cahaya pada 1911 telah menyensor beberapa hal yang terlalu kontroversial seperti kecaman Kartini terhadap kebijakan Belanda dalam monopoli candu di Jawa.

Namun, sindiran kepada Belanda tersebut tergambarkan juga dalam potongan surat Kartini yang dikirimkan kepada Nona Zeehander yang berbicara soal bangsawan.

“Bagi saya ada dua macam bangsawan, ialah bangsawan fikiran dan bangsawan budi. Tidaklah yang lebih gila dan bodoh menurut pendapat saya dari pada melihat orang yang membanggakan asal keturunannya. “(Suratnya kepada Nona Zeehander, 18 Agustus 1899)

Tidak hanya soal emansipasi wanita, pendidikan, dan kritik saja, Kartini juga banyak mengungkapkan kekagumannya terhadap sebuah agama. Ia memiliki pandangan yang berbeda soal agama saat itu. Ia menuliskan surat kepada Abendanon yang mengatakan Kasih Sayang adalah agama yang indah.

“Sepanjang hemat kami, agama yang paling indah dan paling suci ialah Kasih Sayang. Dan untuk dapat hidup menurut perintah luhur ini, haruskah seorang mutlak menjadi Kristen? Orang Buddha, Brahma, Yahudi, Islam, bahkan orang kafir pun dapat hidup dengan kasih sayang yang murni.” (Surat kepada Ny Abendanon dari Kartini, 14 Desember 1902).

Abendanon juga mengatakan Kartini sempat mengaku sebagai ‘anak Buddha’ atas kekagumannya terhadap Klenteng di Welahan. Pernyataan tersebut juga dituliskan Kartini karena ia telah meminum air shio saat sakit.

“Ketahuilah, Nyonya, bahwa saya anak Buddha, dan itu sudah menjadi alasan mengapa saya tak makan daging.” ujar suratnya kepada Abendanon.

Tidak hanya itu, ia juga menyampaikan bahwa tidak memakan daging dan menjadi vegetarian adalah bentuk doa tanpa kata. “Vegetarisme itu doa tanpa kata kepada Yang Maha Tinggi.” (Suratnya kepada Nyonya Abendanon, 27 Oktober 1902)

Namun, ada pula tulisan RA Kartini lainnya yang berharap tidak ada agama di dunia ini karena telah memecah belah dunia menurutnya. “Duh, Tuhan, kadang aku ingin, hendaknya tiada satu agama di pun di atas dunia ini. Karena agama-agama ini, yang justru harus persatukan semua orang, sepanjang abad-abad telah lewat menjadi biang-keladi peperangan dan perpecahan, dari drama-drama pembunuhan yang paling kejam. (Kartini, 6 Nopember 1899)

ADINDA ALYA IZDIHAR | HADRIANI P | TIM TEMPO
Pilihan editor: Mengenang H Agus Salim, Berikut Profil The Grand Old Man, Hubungannya dengan RA Kartini dan Cokroaminoto