Admin CPG, Jakarta – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) masih mendapati penyakit demam berdarah dengue (DBD) sebagai salah satu masalah kesehatan dunia. Terutama bagi negara-negara tropis dengan vektor utama nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk jenis kosmopolitan yang dapat membawa virus dengue penyebab penyakit demam berdarah.
Peneliti Ahli Muda Kelompok Riset Penyakit Tular Vektor dan Zoonosis pada Manusia BRIN Beni Ernawan menjelaskan Aedes aegypti tak hanya menjadi transmisi bagi penyakit DBD, juga terhadap penyakit chikungunya, yellow fever, dan zika. “Di Indonesia pertama kali ditemukan pada 1968 di Pulau Jawa,” tulis Beni dalam keterangannya pada Senin, 13 Mei 2024.
Menurut Beni, penanganan DBD dapat dilakukan melalui desain vaksin atau obat dan pengendalian vektor atau nyamuk. “Untuk vaksinasi saat ini mungkin sudah beberapa kandidat vaksin namun masih dalam tahap uji-uji efikasi dan lain-lain belum digunakan secara luas sehingga pengendalian vektor atau nyamuk ini masih merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan.”
Beni menyebutkan pengendalian dengue mengacu pada rencana strategis sasional pengendalian dengue 2021-2025. Banyak metode yang harus sinergi mulai dari manajemen survilens kemudian pelibatan masyarakat, manajemen vektor, akses tata laksana denguenya.
‘’Komitmen dari semua stakeholder dan tentunya kami sebagai peneliti harus berkontribusi tentang pengembangan kajian metode yang efektif dalam mengendalikan dengue salah satunya yaitu pengendalian teknik serangga mandul (TSM),’’ ucap Beni.
Beni menjelaskan, bahwa Peneliti dari Amerika yang terkenal yaitu Edward F. Knipling merupakan pioner dari teknik pengendalian serangga mandul ini. Teknik ini sudah diimplimentasikan sejak 50-an di Benua Amerika. Tujuannya mengeleminasi parasit ternak Cochliomyia hominivorax dengan merilis atau melepaskan jantan mandul.
Iklan
Penelitian ini merupakan debut dari keberhasilan TSM atau Sterile Insect Technique (SIT) pengendalian parasit ternak. Kemudian dilakukan pengendalian untuk lalat buah di Jepang di pulau Okinawa, selanjutnya lalat Tse-tse glossina austeni di Tanzania Afrika.
‘’Secara prinsip sebenarnya SIT atau TSM ini relatif mudah. Akan tetapi hal ini merupakan rangkaian tahapan pekerjaannya banyak. Pertama serangga itu harus di-rearing atau dipelihara secara masal di fasilitas tertentu, kemudian dipisahkan jantan dan betinanya. Lalu jantannya kita mandulkan dengan energi pengion bisa dari gamma, x-ray atau yang lain. Selanjutnya jantan itu kita bawa dan transportasikan ke area yang akan dituju. Sehingga jantan mandul tadi akan kawin dengan betina yang ada di alam,’’ ucap Beni.
Hasil perkawinan tersebut, lanjut Beni mereka bertelur tapi tidak menetas. Sehingga dengan melepas secara periodik jantan mandul tersebut diharapkan populasi serangga targetnya akan menurun. Dengan melepaskan jantan mandul maka rasio jantan dibanding populasi normalnya sembilan banding satu. Sehingga apabila kita melepas sebanyak lima kali tentunya akan menurun atau tereradikasi.
Beni menyimpulkan bahwa TSM ini adalah salah satu metode alternatif yang bisa dicoba untuk mengendalikan vektor dengue. Perlu diingat bahwa TSM ini pun bukan stand alone technique dan bukan teknik yang serba bisa.
‘’Jadi harus dikombinasikan dengan teknik lain, dalam kerangka dari integrated vector management. Perlu upscaling untuk kasus selanjutnya dengan menggunakan data entomologi dan data epidemiologinya. Diharapkan metode tersebut dapat menjadi bukti kuat untuk kita bawa ke tahap kebijakan selanjutnya.”